--christian--
Revisi UU No. 13 tahun 2003? Apakah yang sedang hangat dibicarakan akhir-akhir ini?

Bukan.

Ini adalah amandemen (perubahan/koreksi) terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusannya terhadap perkara nomor 012/PUU-I/2003. Koreksi ini adalah yang paling sering dilupakan oleh para pengusaha dalam mempelajari tentang masalah ketenagakerjaan, karena memang tidak se-populer UU-nya sendiri.

Keputusan tersebut bisa di-download di website Mahkamah Konstitusi (www.mahkamahkonstitusi.go.id).
Sedangkan untuk UU No. 13 Tahun 2003 bisa di-download di website Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (www.nakertrans.go.id).

Secara ringkas, ada 2 hal utama yang direvisi dalam UU tersebut:

1. Mengenai mogok kerja

Dalam pasal 137 disebutkan bahwa "Mogok kerja..... dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan".
Dalam pasal 138 ayat 1 disebutkan bahwa "Pekerja/buruh..... yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja..... dilakukan dengan tidak melanggar hukum".

Pasal 186 mengatur tentang sanksi pidana dan denda atas pelanggaran beberapa pasal, termasuk pasal 137 dan 138 ayat 1.

Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 186 tersebut tidak berlaku / tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945.

Jadi, apakah kemudian berarti bahwa pasal 137 dan 138 ayat 1 menjadi percuma karena tidak ada sanksi? Tentu tidak, karena pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut sebenarnya sudah menjadi domain hukum pidana, yang diatur dalam KUHP. Jadi tetap ada sanksinya, hanya saja tidak diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003.

2. Mengenai PHK karena kesalahan berat

Pasal 158 pada intinya menjelaskan bahwa terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat sebagaimana macam-macamnya dijabarkan dalam ayat 1, dapat dilakukan PHK, dan secara tersirat tidak mendapatkan uang pesangon tapi hanya uang penggantian hak. Selain itu juga kesalahan berat tersebut tidak perlu pembuktian di pengadilan terlebih dahulu.
Pasal 159 menjelaskan bahwa bila pekerja tidak menerima atas PHK tersebut, maka dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160 mengatur kewajiban pengusaha untuk memberikan bantuan/santunan kepada keluarga/tanggungan pekerja bila pekerja sedang ditahan oleh pihak yang berwajib, hanya bila penahanan tersebut bukan atas pengaduan pengusaha.

Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 158 dan pasal 159 keseluruhannya tidak berlaku / tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, sebagian dari pasal 160 juga dinyatakan tidak berlaku / tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu dalam hal "bukan atas pengaduan pengusaha", sehingga jadinya ketentuan pasal 160 itu juga berlaku atas penahanan oleh yang berwajib atas pengaduan pengusaha. Selain itu, sebagian dari pasal 170 dan 171, yaitu yang menyebutkan referensi terhadap pasal 158 ayat 1, juga dinyatakan tidak berlaku.

Dengan demikian, kini atas kesalahan berat tidak langsung bisa dilakukan PHK, dan juga tetap mendapatkan pesangon seperti ketentuan umumnya.

Tidak adil? Tergantung siapa yang menilainya.
1 Response
  1. Anonymous Says:

    Sekedar tambahan informasi saat ini Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi.


Post a Comment